Menempuh Suatu Sebab…

Saat ini, umat manusia tengah dilanda suatu musibah besar. Musibah yang menjalar di berbagai negeri bahkan hampir segala penjuru dunia, tak terkecuali di Indonesia ini.  Yakni wabah yang dinamakan dengan Virus Corona. Tak sedikit, diantara mereka yang terserang wabah tersebut, dan tak sedikit pula mereka yang meninggal dunia akibat dampaknya.

Di Indonesia sendiri, data menyebutkan bahwa wabah ini telah mencapai 686 kasus (di 24 Provinsi), 55 orang dinyatakan meninggal dunia. Itupun dari hasil data yang telah muncul ke permukaan (teridentifikasi), belum lagi dengan data yang masih tertimbun (belum diketahui).

Tempo lalu, wabah ini cenderung diabaikan oleh sebagian masyarakat. Namun kini, berbagai kebijakan mulai diterapkan untuk menanggulangi dan mengurangi wabah ini. Diantaranya dengan mengurangi berbagai aktivitas, seperti perkumpulan dan sebagainya. Akibatnya, seluruh lembaga pendidikan termasuk Kuttab Harun Ar Rasyid Surakarta diliburkan guna memutus rantai wabah/virus tersebut. Dan kebijakan ini menghimbau masyarakat untuk tetap lebih banyak beraktivitas di dalam rumah agar virus tersebut tidak menular dan meluas kepada yang lainnya.

Dengan kondisi yang demikian ini mulai diperhatikan oleh para Ulama. Mereka mengeluarkan berbagai fatwa, salah satunya terkait rukhsah (keringanan) dalam beribadah ketika terjadi suatu wabah. Mayoritas dari mereka lebih menyarankan kepada Umat Muslim untuk melaksanakan sholat/Ibadah di rumah masing-masing, guna tidak terjadi penyebaran yang luas terutama kepada Jama’ah kaum Muslimin.

Himbauan ini berlaku disuatu daerah yang terindikasi rentan (banyak yang terjangkit) serta telah ditetapkan zona merah. Meski demikian, hal ini lebih ditekankan untuk diberlakukan di seluruh wilayah, mengingat penyebaran virus ini sangatlah pesat dan mematikan.

Dalam perspektif Islam itu sendiri, bahwa salah satu tujuan Syari’at ini adalah mendatangkan maslahat dan memperbanyaknya serta menolak kerusakan dan memperkecilnya. Hal ini selaras dengan salah satu kaidah fiqh yang dinamakan La Darar wa La Dirar “لاضرر ولاضرار”. Sebagaimana mengacu pada hadist Nabi (Hadist ke-32 dari Kitab Syarah Hadits Arba’in Imam Nawawi):

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ سَعْدِ بْنِ مَالِكِ بْنِ سِنَانٍ الْخُدْرِيّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: ” لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ”

Dari Abu Sa’id Sa’d bin Malik bin Sinan al-Khudri Radhyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh melakukan perbuatan (mudharat) yang mencelakakan diri sendiri dan orang lain.” Meski hadist ini diriwayatkan secara mursal, namun telah dipraktekkan secara turun temurun oleh para Ulama’

Pada intinya, kaidah ini mengandung makna “Menghilangkan kemadharatan baik sifatnya mengawali (yang memulai) ataupun sebagai bentuk timbal balik (balasan), demikian juga membalas; mencegah timbulnya madharat sebelum terjadi. Apabila telah terjadi maka harus disingkirkan (menghilangkan kemadharatan tersebut).”

Menghilangkan madharat jauh diutamakan (prioritas) dan diperhatikan dalam syari’at jika ditimbang dengan mendatangkan maslahat. Karena mendatangkan maslahat sifatnya hanyalah anjuran yang dilakukan semampunya. Sebagaimana ketika halal dan haram bertemu, maka yang haram harus didominankan.

Konteks (kaidah) diatas diqiyaskan dengan keadaan saat ini (yang tengah dilanda musibah berupa wabah). Yakni dengan menimbang antara maslahat dengan madharatnya. Karena bentuk dari Tawakkal adalah bersandarnya hati kepada Allah kemudian mengupayakan suatu sebab untuk menentukan tujuan yang akan dicapai.

Hidup tentu tidak terlepas dari konsep kausalita (sebab-akibat)

Sebagaimana orang yang ingin mencari harta (yang Allah sendiri telah menetapkan untuknya). Tawakkal dapat terwujud jika kedua hal tersebut dilaksanakan. Sehingga dia tidak hanya bersandar di balik pintu dan berharap pintu tersebut terbuka (tidak melakukan suatu sebab sama sekali) ataupun berusaha keras merusak pintu tersebut (Melakukan sebab dengan sangat tekun tetapi tidak memohon bantuan kepada Allah serta tidak menyerahkan hasilnya kepada Allah). Akan tetapi porsi yang terbaik adalah berusaha mencari kunci tersebut kemudian menerima semua ketentuan Allah yang diberikan kepadanya.

Hal ini telah digambarkan pada zaman Nabi. Dalam sebuah riwayat ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Wahai Rasulullah, apakah saya ikat unta saya lalu tawakal kepada Allah Azza wa Jalla ataukah saya lepas saja sambil bertawakal kepada-Nya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :

إِعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ

“Ikatlah dulu untamu itu kemudian baru engkau bertawakal !” (HR. At-Tirmidzi no. 2517, hasan).

Begitu pula tawakkal dalam kondisi datangnya musibah. Ketika wabah tersebut telah menular dengan pesat ke berbagai penjuru Negara termasuk di Indonesia ini. Salah satu langkah memutus rantai penyebaran tersebut adalah dengan tetap berada dirumah serta mengurangi berbagai aktivitas perkumpulan yang dilakukan diluar atau ditempat ibadah. Karena madharat yang timbul akan lebih besar, jikalau seseorang mengabaikan kebijakan ini. Sementara itu, sifat dari virus ini adalah sulit terdeteksi dan cepat menular. Sehingga madharat yang diberikan tidak hanya berdampak pada dirinya (jika seseorang mengenai virus ini) akan tetapi dapat berdampak kepada orang lain secara meluas.

Ditambah dengan tenaga medis yang saat ini masih terbatas dan sulit menanggulangi (mencari vaksin) guna mengobati para pasien. Disisi lain, saat ini para tim medis telah berkontribusi besar dalam mengurus virus dan pasien tersebut. Padahal mereka juga bukanlah sebuah robot, mereka juga manusia sama seperti kita, yang membutuhkan waktu luang untuk melepas penat dari pekerjaan mereka. Namun, dengan keadaan darurat seperti ini, mereka mengerahkan seluruh tenaga, luang dan waktu hanya untuk mencari penawar wabah tersebut. Meskipun, pada akhirnya, tidak sedikit dari mereka terkena dampak dari virus tersebut.

Dan sebagai kunci utama, mereka (para medis) meminta masyarakat untuk tetap menahan diri (banyak beraktivitas) di rumah. Ini juga menjadi himbauan kepada kaum Muslimin yang menetap disuatu daerah yang telah terindikasi “Zona Merah” untuk lebih waspada (tidak meremehkan).

Karena Tawakkal bukan bentuk kecerobohan (nekat), tetapi saling melengkapinya antara usaha dengan menyerahkan hasil kepada Allah. Usaha yang butuh pertimbangan antara maslahat untuk diri sendiri, dan madharat yang berdampak kepada orang lain. Bukan semata-mata menjadi peringatan untuk takut kepada virus tersebut, melainkan perenungan kepada suatu madharat yang lebih besar yakni: penularan, penyebaran, kematian, hingga menambah kinerja para medis.

Jika kesadaran itu telah tumbuh dan dilaksanakan, maka tiada lupa pula untuk memohon kepada Allah, agar wabah tersebut dapat segera terangkat dan hilang. Setiap dari musibah, tentu terpetik suatu hikmah. Hikmah dari adanya virus ini adalah agar manusia sadar betapa pentingnya kebersihan. Padahal, Islam (sejak belasan ribuan abad lalu) telah mengajarkan hal ini. Namun, ketika ia mengabaikannya, maka dampaknya akan timbul, tiada lain disebabkan oleh perbuatannya sendiri. Allah berfirman:

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy Syuraa: 30)

Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat di atas:

“Allah Ta’ala memberitahukan bahwa tidak ada satupun musibah yang menimpa hamba-hamba-Nya, baik musibah yang menimpa tubuh, harta, anak, dan menimpa sesuatu yang mereka cintai serta (musibah tersebut) berat mereka rasakan, kecuali (semua musibah itu terjadi) karena perbuatan dosa yang telah mereka lakukan dan bahwa dosa-dosa (mereka) yang Allah ampuni lebih banyak.

Karena Allah tidak menganiaya hamba-hamba-Nya, namun merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan perbuatannya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melatapun, dan menunda siksa itu bukan karena Dia teledor dan lemah” (Tafsir As-Sa’di: 899).

Dalam ayat lain:

ذَلِكَ بِأَنَّ اللّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِّعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمْ وَأَنَّ اللّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“(Siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu ni’mat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri , dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Anfaal: 53)

إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar Ro’du: 11)

Tetap tekun untuk berada di Masjid (sholat berjama’ah) itu sangat baik, tetapi bukanlah suatu jalan utama. Kebijakan merenggangkan shaf sholat sejauh 1-2 meter pun bukanlah jalan, karena Ulama’ tetap menganggapnya sebagai sholat munfarid.

Akan tetapi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam telah memberikan pelajaran kepada umatnya perihal hal tersebut. Dari Yahya bin Ya’mar, Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan kepadanya bahwa ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ath-tha’un (wabah yang menyebar dan mematikan), maka beliau menjawab,

كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ ، فَجَعَلَهُ اللَّهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ ، مَا مِنْ عَبْدٍ يَكُونُ فِى بَلَدٍ يَكُونُ فِيهِ ، وَيَمْكُثُ فِيهِ ، لاَ يَخْرُجُ مِنَ الْبَلَدِ ، صَابِرًا مُحْتَسِبًا ، يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ يُصِيبُهُ إِلاَّ مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ ، إِلاَّ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ شَهِيدٍ

Itu adalah azab yang Allah turunkan pada siapa saja yang Allah kehendaki. Namun, Allah menjadikannya sebagai rahmat kepada orang beriman. Tidaklah seorang hamba ada di suatu negeri yang terjangkit wabah di dalamnya, lantas ia tetap di dalamnya, ia tidak keluar dari negeri tersebut lalu bersabar dan mengharapkan pahala dari Allah, ia tahu bahwa tidaklah wabah itu terkena melainkan dengan takdir Allah, maka ia akan mendapatkan pahala syahid.” (HR. Bukhari, 6619).

Dari hadist diatas, kaum Muslimin mendapat pahala syahid jika: Tetap di rumah (keluar jika mendesak saja), Bersabar (menahan hati, lisan, dan anggota badan), Mengharap pahala dari Allah, Yakin bahwa wabah itu terkena karena takdir Allah.

Semoga kita tetap bersabar untuk tetap berada dirumah. Dengan harapan, semoga Allah lekas mengangkat musibah ini di negeri kita.


Referensi: 

Al-Qur’an Al-Karim
bin Shalih Al-Utsaimin, Muhammad. 2016. “Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah (terj.)” Jakarta: Ummul Qura
https://rumaysho.com/23663-di-rumah-saja-saat-wabah-tetap-dapat-pahala-syahid.html
https://rumaysho.com/302-musibah-datang-karena-maksiat-dan-dosa.html
https://muslim.or.id/26696-musibah-adalah-karena-dosa-kita-1.html

Tinggalkan komentar